Rabu, 14 Oktober 2009

Optimalisasi Kecerdasan Ganda dalam Era Informasi dan Globalisasi
Last Updated Saturday, 03 November 2007
Bulan-bulan menjelang EBTANAS DAN UMPTN (sekarang namanya: SPMB/Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru)
setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat. Persoalan orangtua (belum
tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih program
studi apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua mengkonsultasikan
anaknya pada psikolog.
Catatan kaki
* Dibacakan pada Seminar RS Mitra Internasional, Hotel Ibis, Jalan S. parman, Jakarta, 12 Oktober 20021 Keketatan
persaingan di UI (2001) berkisar antara 1-3,5% untuk jurusan-jurusan favorit (HI, Akuntansi, Psikologi, Hukum,
Kedokteran, Kedokteran gigi) dengan nilai UMPTN antara 800-1000 dan sekitar 18-20% untuk jurusan-jurusan kurang
favorit (geografi, sastra Jawa) dengan nilai UMPTN minimum 700.
2 Mungkin karena cukup banyak anak muda di Jakarta, semasa Orde Baru, khususnya mereka yang berasal dari
kalangan elite, yang sangat mudah memperoleh pekerjaan mentereng dengan gaji tinggi (karena mendapat fasilitas dari
orangtuanya).
Perwujudan frustrasi bisa berbentuk agresivitas pada lingkungan (keluarga, atasan, system, pemerintah, bahkan
lingkungan alam), agresivitas pada diri sendiri (depresi, menyalahkan diri sendiri, perasaan berdosa, bunuh diri) atau
pelarian dari kenyataan (menganut fanatisme agama atau aliran golongan yang sempit atau narkoba).
3 Brofenbrenner, U. 1979: The Ecology of Human Development, Cambridge, MA: Harvard University Press.4 Alvin
Toffler: Future Shock5 Alvin Toffler: The Third Wave.6 Charles Jencks: What is Post-Modernism?7 Teknologi komputer
mulai berkembang pesat pada masa itu dan sekarang, dengan manggabungkannya dengan teknologi telekomunikasi,
orang sudah bisa berdagang saham dan valuta asing, atau saling tukar informasi dari tempat masing-masing yang
terpisah ribuan mil, hanya dalam hitungan detik.8 Esteva & Prakash: Grass root Post-Modernism: Remaking the Soil of
the Culture9 Pendidikan mono-nilai yang menyebabkan Siti Nurbaya terpaksa berontak ketika mau dinikahkan dengan
Datuk Meringgih (sesuai dengan nilai adat orang-orangtua), karena hatinya sendiri lebih memilih Syamsulbahri (pemuda
yang kebetulan menjadi serdadu Belanda). 10 Howard Gardner: Frame of Mind 11 Howard Gardner: Frame of Mind12
Howard Gardner: Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st century.13 Howard Gardner: Intelligence
Reframed: Multiple Intelligences for the 21st century.
Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, dari pihak anak sendiri sering kurang nampak ada urgensi pada
permasalahan yang dihadapinya. Rata-rata anak-anak ingin lulus UMPTN untuk masuk perguruan-perguruan tinggi
favorit, tetapi tidak terbayang bagaimana betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapi1. Kalau tidak lulus UMPTN
pilihannya adalah PTS (yang bervariasi dari yang mahal sampai relatif murah, dari yang terakrediatasi A sampai yang
belum terakreditasi) atau sekolah di luar negeri saja (buat yang orangtuanya berduit).
Tidak adanya perasaan urgensi ini lebih nyata pada tidak adanya persiapan-persiapan yang serius. Kebanyakan anak
tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR,
membolos, sering mencari bocoran ulangan atau ujian atau menyontek saja untuk mendapat nilai yang bagus.
Di sisi lain, banyak siswa-siswi SMU itu yang bercita-cita menjadi MBA. Jika ditanya, maka alasannya adalah bahwa
sebagai manajer bisa jadi pimpinan, gaji besar, punya rumah bagus, nyetir mobil sendiri dan sebagainya, pokoknya
seperti eksekutif muda yang sering ditampilkan dalam aneka sinetron TV. Hampir tidak terbayangkan oleh mereka
proses panjang yang harus ditempuh seseorang dari jenjang yang paling bawah untuk sampai ke papan atas2.
Sikap jalan pintas ini, .bukan hanya menyebabkan menurunnya motivasi belajar, melainkan juga menimbulkan gaya
hidup konsumtif yang kontra produktif, yang merupakan kendala yang serius bagi para generasi muda tersebut untuk
bersaing dalam era globalisasi dan informasi yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir ini. Pada gilirannya,
bukan saja individu-individu yang bersangkutan yang bisa tersisih dari persaingan, melainkan juga seluruh bangsa ini
(jika terlalu banyak generasi muda Indonesia yang bersikap kontra produktif seperti itu).
Teori Ekologi dari Brofenbrenner
Dalam menghadapi sikap jalan pintas (banyak yang sejak SD) banyak orangtua dan guru dan pendidik yang hanya
terfokus pada sikap anak itu sendiri sebagai individu. Maka akan timbullah berbagai stigma pada anak seperti: pemalas,
tidak serius, bodoh dsb. Tindakan orangtua dan gurupun pada umumnya tidak jauh dari stigma yang diberikannya pada
anak, antara lain: memaksa, menasihati, melarang, menghukum, menyuruh anak mengikuti les tambahan dsb.
Tetapi menurut Broffenbrenner3 (dalam teori Ekologi Perkembangan Manusia), seorang individu tidak dapat dilepaskan
dari lingkungannya, sehingga perkembangan jiwanya dan seluruh sikap serta perilakunya (dari anak sampai dewasa)
harus dipahami dalam konteks lingkungan yang terdiri dari:
- Sistem Mikro, yaitu lingkungan yang paling dekat dengan pribadi individu, terdiri dari orangtua, saudara kandung,
http://sarlito.hyperphp.com
Powered by Joomla!
Generated: 6 September, 2009, 05:18
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog ~ Indonesian Psychologist
keluarga serumah, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga dan orang-orang lain yang sehari-
hari dekat dan berhubungan erat dengan individu.
- Sistem Meso, yaitu interaksi antar faktor di dalam sistem Mikro, misalnya hubungan ayah-ibu, hubungan orangtua-
guru, pergaulan antar teman dsb.
- Sistem Exo, yaitu sistem yang lebih luar, tidak langsung menyangkut diri individu namun masih besar pengaruhnya
seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, TV dsb.
- Sistem Makro, yaitu sistem yang paling luar dan berpengaruh langsung atau tidak langsung pada individu seperti
pemerintah, agama, tradisi, hukum, undang-undang, politik dsb.
Revolusi pada sistem Makro
Perbedaan sistem Makro pada generasi yang hidup pada tahun 1920-an dengan yang hidup pada tahun 1990-an bisa
tampil nyata kalau kita mengamati lingkungan makro orang-orang dari generasi-generasi yang berbeda itu. Angkatan 20-
an ditandai dengan kehidupan yang relatif sangat stabil dan sangat sedikit perubahan. Bupati yang menjabat di suatu
daerah bisa mencapai masa jabatan 30-40 tahun. Alun-alun, pohon beringin dan kabupaten tidak berubah sejak
seseorang lahir sampai pensiun. Hiburan (di Jawa tengah misalnya) berkisar antara tembang-gamelan Jawa, keroncong,
wayang dan ketoprak, yang digemari oleh semua orang, tua dan muda, dari generasi kakek sampai cucu. Jenis
pekerjaan juga cuma itu-itu saja: petani, buruh kasar, para tukang, pegawai pemerintah, profesional (dokter, ahli hukum)
dan bangsawan (dari camat sampai bupati).
Generasi 1940-an merasakan imbas dari revolusi global: Perang Dunia II. Jepang masuk ke Indonesia, mengusir
Belanda yang lari terbirit-birit, menjanjikan kemedekaan Indonesia melalu perang Asia Timur Raya, tetapi akhirnya
merusak semua tatanan sistem makro di Indonesia. Ketika Jepang menyerah, buru-buru Indonesia menyatakan
kemerdekaan, tetapi sempat terjadi kekosongan kekuasaan untuk beberapa saat, sebelum tentara sekutu yang
diboncengi Belanda masuk ke Indonesia dan pecahlah revolusi kemerdekaan RI. Salah satu dampaknya adalah bahwa
tiba-tiba tersedia berbagai lowongan jabatan bagi orang-orang Indonesia, mulai dari jabatan pemerintah tingkat
Gubernur ke atas, sampai jabatan-jabatan administratur perkebunan atau direksi perussahaan-perusahaan negara yang
semuanya ditinggalkan oleh Belanda setelah revolusi fisik. Bahasa Belanda dan Jepang tidak dipakai lagi, digantikan
oleh bahasa Indonesia dan sistem pendidikan nasionalpun berubah. Dengan tatanan masyarakat yang baru, terbuka
peluang untuk mobilitas sosial secara vertikal untuk seluruh lapisan sosial. Bukan hanya anak bangsawan yang bisa
mencapai pendidikan tinggi dan menduduki jabatan tinggi, tetapi anak-anak dari lapisan bawah pun punya kesempatan.
Bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan juga bisa berkarir sampai jenjang teratas. Semua itu terjadi dalam kurun waktu
yang relatif singkat, kurang dari 10 tahun (1942-1950), jauh lebih singkat dari pada era kolonial yang stabil selama 350
tahun. Bisa dibayangkan betapa generasi ini mengalami cultural shock seperti yang pernah disinyalir oleh Alfin Toffler4.
Tetapi generasi 1960-an pun tidak bebas dari cultural shock. Di satu sisi, melalui teknologi media massa yang masih
sangat sederhana saat itu, bangsa Indonesia mulai mengenal budaya Amerika mulai dari lagu-lagu rock and roll sampai
ideologi demokrasi liberal. Di sisi lain komunisme pun makin kuat, yang mencerminkan adu kekuatan global di antara
super powers (Blok Barat dan Blok Timur) pada masa itu. Maka pecahlah revolusi lagi di Indonesia, yaitu pemberontakan
G-30-S pada tahun 1965.
Tatanan masyarakat kembali menghadapi kemungkinan perubahan besar-besaran (antara lain kekuatan politik golongan
Islam mulai mencuat setelah tertekan selama bertahun-tahun), namun pemerintah Orde Baru segera mengambil
prakarsa untuk mengendalikan jalannya kehidupan bangsa melalui suatu proses pembangunan yang terprogram dan
seragam di seluruh tanah air. Maka lahirlah generasi yang serba seragam, sesuai aturan: OSIS, KNPI, Darma Wanita,
Karang Taruna, GBHN, Trilogi pembangunan, pemilu, SD Inpress, Daftar Isian Proyek dsb. Semuanya tersentralisasi ke
Jakarta, sehingga peredaran uang pun 70% terjadi di Jakarta.
Nampaknya selama 32 tahun bangsa Indonesia berhasil maju pesat di bawah suatu sistem yang sangat tersentralisasi
dan terkendali. Akan tetapi stabilitas yang terjadi hanya semu, karena di dunia luar justru sedang terjadi revolusi besar-
besaran yang oleh Toffler dinamakan the Third Wave5, yaitu revolusi informasi melalui teknologi media massa,
telekomunikasi dan komputer (televisi, satelit, video, fax, mobile phone, internet,. dsb). Pada era informasi ini, semua
informasi bisa masuk sampai ke kamar-kamar tidur melalui teknologi media massa itu. Tidak ada lagi yang rahasia,
sehingga pemerintah pun kehilangan power-nya untuk tetap mempertahankan kekuasaan (sesuai dengan pepapatah
bahwa siapa yang mempunyai informasi, maka dialah yang akan memimpin). Akhirnya stabilitas semu ini tidak bisa
bertahan lebih jauh dan jebol pada era kirisis moneter pada pertengahan tahun 1990-an yang segera diikuti dengan
revolusi politik (reformasi) yang dampaknya masih belum selesai sampai hari ini.

1 komentar:

****BASALTO_BAKIMFC**** mengatakan...

pang komentarken blog uraNG

Posting Komentar

Web Master / Pogramer ?

 

My Blog List

Banner Teman Ku


© Copyright 2007-2008 || TempLaTe bY o-om.com
PoWereD bY bLogGer.Com || eDit bY AnDry_bLogGer